.

Sabtu, 08 November 2014

SEPERTI APA TAYANGAN TELEVISI YANG IDEAL BAGI BANGSA INI..?



Beberapa tahun belakangan ini berbagai aksi kekerasan, premanisme, dan kemunduran moral begitu marak trjadi di negeri tercinta Indonesia ini. Hal tersebut tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat yang bersifat umum, namun sudah merambah di tengah-tengah keluarga dan dunia pendidikan ( sekolah tingkat dasar ). Sebuah fenomena yang sungguh sangat mengkhawatirkan dan miris untuk dilihat.
Solusi terbaik untuk mengantisipasi hal yang demikian bukanlah sesuatu yang gampang dan mudah didapatkan, karena ihwal terjadinya kasus-kasus tersebut sangat berkaitan dengan berbagai aspek, seperti aspek sosial, ekonomi, kultur, dan lingkungan pergaulan, srta yang tidak kalah pentingnya adalah akses informasi yang sangat terbuka lebar yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja, seperti internet, dan tayangan-tayangan televisi yang kadang-kadang hanya mengedepankan sisi profit bagi perusahaan dengan mengesampingkan dampak buruk bagi pemirsanya yang nota bene mereka tidak semuanya mampu berpikir kritis aklan apa yang ditontonnya( utamanya anak-anak dan remaja ). Dengan mengedepankan keuntungan seringkali “tontonan” yang ditayangkan bukan lagi menjadi sebuah “tuntunan” bagi pemirsanya, namun justru “pembelokan tuntunan”, dan ini acap kali terjadi.
Tayangan televisi memang bukan satu-satunya biang keladi dari maraknya aksi kekerasan. premanisme dan kemunduran moral di negeri ini, namun jika kita kaji lebih jauh dan teliti, sepertinya juga tidak bisa kita anggap enteng pengaruhnya. Di kalangan anak-anak dan remaja, karakter penjiplakan dan peniruan sangat sering terjadi, karena  memang dunia mereka demikianlah adanya, masih bersifat labil dan berada dalam tataran mencari bentuk. Jika setiap saat mereka dihadapkan pada tontonan-tononan yang kurang mendidik tidak menutup kemungkinan akan terbentuk karakter-karakter yang tidak diharapkan oleh orang tua khususnya, dan bagi masyarakat serta negara pada umumnya.
Dari sudut psikologi, semua orang punya potensi untuk berperilaku positif maupun negatif dan berdasarkan hasil survei, teori lingkungan mengatakan bahwa pengaruh lingkungan lebih mempengaruhi pribadi seseorang dibandingkan faktor keturunan. Artinya, walaupun kedua orang tuanya berperilaku baik, namun bisa saja anaknya berperilaku tidak baik akibat pengaruh lingkungan yang buruk ( termasuk di dalamnya adalah tontonan yang buruk ). Karena pengaruh lingkungan lebih besar  pengaruhnya,  yang memungkinkan orang melakukan aksi kekerasan dan premanisme. Ketika terjadi hal yang demikian, maka “emosional” menjadi lebih kuat daripada “rasional”. Cara berpikirnyapun pendek, yang penting bertindak dulu, pikir belakangan, cara berpikirnya menjadi lebih bersifat spekulatif. Berdasarkan semua teori di atas, maka orangpun sangat mudah mengambil keputusan untuk melakukan aksi kekerasan dan premanisme.
Ada beberapa contoh tayangan televisi di negeri ini , baik yang bersifat berita, pariwara, ataupun infotainment yang selain dipaksa-paksakan untuk ditayangkan namun juga minim sekali pengaruh positifnya bagi pembetukan dan pengembangan karakter bangsa. Tayangan-tayangan yang kontraproduktif, menggerus kerukunan dalam keberagaman, kurang pas dengan kearifan budaya bangsa, dan kurang selaras dengan kultur bangsa. Sehingga dengan mudahnya “karakter penjiplakan/plagiatisme” berkembang di dunia anak-anak dan remaja khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Setiap keluarga mungkin sudah memiliki filter sendiri mengenai tontonan yang dibolehkan dan tidak dibolehkan untuk ditonton bagi anak-anak mereka. Tapi siapa bisa mencegah jika misalnya anak-anak ditinggalkan di rumah bersama orang lain yang tidak mengerti aturan yang telah ditetapkan orang tuanya?, atau mereka menyaksikan tidak di rumahny sendiri..?.
 Komisi Penyiaran Indonesia, beberapa hari lalu merilis tentang beberapa tayangan televisi yang tidak layak tonton. Dalam keterangan di situsnya, KPI menyebut, beberapa bulan terakhir, kekerasan yang menimpa anak-anak dan remaja semakin banyak jumlahnya dan semakin memprihatinkan, bahkan kekerasan tersebut terjadi di sekolah dan lingkungan tempat tinggal yang seharusnya aman bagi anak-anak dan remaja. Sejumlah pihak menduga media khususnya televisi sebagai salah satu pemicu munculnya tindak kekerasan tersebut. Sepanjang tahun 2013 sampai dengan April 2014, KPI menerima sebanyak 1.600-an pengaduan masyarakat terhadap program sinetron dan FTV yang dianggap meresahkan dan membahayakan pertumbuhan fisik dan mental anak serta mempengaruhi perilaku kekerasan terhadap anak.

Sejak 1 bulan lalu tepatnya tanggal 11 April 2014, KPI telah melakukan evaluasi program sinetron dan FTV yang disiarkan 12 stasiun televisi dalam rangka melakukan pembinaan. Dalam forum evaluasi tersebut hadir juga beberapa production house (PH) yang memproduksi program-program tersebut. Namun demikian, sampai dengan hari ini KPI masih menemukan sejumlah pelanggaran terhadap UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Pelanggaran tersebut meliputi:
1.       Tindakan bullying (intimidasi) yang dilakukan anak sekolah.
2.    Kekerasan fisik seperti memukul jari dengan kampak, memukul kepala dengan balok kayu, memukul dengan botol beling, menusuk dengan pisau, membanting, mencekik, menyemprot wajah dengan obat serangga, menendang, menampar dan menonjok.
3.       Kekerasan verbal seperti melecehkan kaum miskin, menghina anak yang memiliki kebutuhan khusus (cacat fisik), menghina orang tua dan Guru, penggunaan kata-kata yang tidak pantas “anak pembawa celaka, muka tembok, rambut besi, badan batako”.
4.       Menampilkan percobaan pembunuhan.
5.       Adegan percobaan bunuh diri.
6.       Menampilkan remaja yang menggunakan testpack karena hamil di luar nikah.
7.       Adanya dialog yang menganjurkan untuk menggugurkan kandungan.
8.       Adegan seolah memakan kelinci hidup.
9.       Menampilkan seragam sekolah yang tidak sesuai dengan etika pendidikan.
10. Adegan menampilkan kehidupan bebas yang dilakukan anak remaja, seperti merokok, minum-minuman keras dan kehidupan dunia malam.
11.   Adegan percobaan pemerkosaan.
12.   Konflik rumah tangga dan perselingkuhan.

Bahkan program sinetron dan FTV kerap menggunakan judul-judul yang sangat provokatif dan tidak pantas, seperti: Sumpah Pocong di Sekolah, Aku Dibuang Suamiku Seperti Tisu Bekas, Mahluk Ngesot, Merebut Suami dari Simpanan, 3x Ditalak Suami Dalam Semalam, Aku Hamil Suamiku Selingkuh, Pacar Lebih Penting dari Istri, Ibu Jangan Rebut Suamiku, Istri dari Neraka aka Aku Benci Istriku.

Seperti yang tersebut sebelumnya, bahwa dari sisi komunikasi, banyak ahli mensinyalir begitu dahsyatnya peran media, film dan hiburan terhadap berbagai tindak kekerasan dan kekejaman itu. Belakangan, sinyalemen itu juga menuding peran program berita, seperti hard news, buletin dan tayangan ‘current affairs’ kabar berbagai peristiwa.
Di antara ahli ada yang menduga bahwa berita kekerasan – violent news – yang ditayangkan TV menyebabkan meluasnya kekhawatiran akan munculnya tindak kriminal. Menurut mereka, ingatan pada tayangan violent news di TV cenderung lebih kuat ketimbang jenis informasi lain, sehingga menjadikan perilaku kriminalitas dan kekerasan kian berperan pada penonton.
Sebagaimana dikatakan Johnston & Davey dalam buku ‘Media Psychology’ yang ditulis David Giles (2008), pada level pribadi, berita negatif terbukti meningkatkan kekuatiran personal, meski pun berita itu tidak langsung berhubungan dengan isi program yang sedang tayang. Secara umum sering muncul kekuatiran adanya ‘copycat violence’ (kekerasan yang dilakukan gara-gara meniru-niru belaka), khususnya yang terkait dengan kericuhan masyarakat. Berbagai kericuhan di jalanan pada beberapa wilayah perkotaan di Inggris, misalnya, seringkali muncul pada saat berbarengan, dan jelas berperan sebagai katalisator bagi kericuhan-kericuhan di wilayah-wilayah lain.
Barangkali begitu pula yang terjadi di Indonesia. Entahlah. Yang jelas, di Jerman, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa serangan kelompok rasis ‘sayap kanan’ terhadap etnik minoritas kentara sekali memiliki pola yang berkaitan dengan peliputan media terhadap penyerangan-penyerangan sebelumnya. Dalam kaitan itu, para peneliti juga melihat hasil serangan-serangan yang terjadi. Pada serangan gelombang pertama, misalnya, korban cenderung untuk pindah atau mengungsi ke daerah yang lebih aman – yang boleh jadi merupakan tujuan utama yang diinginkan penyerang. Ternyata, berita tentang pengungsian para korban itu menjadi pemantik bagi gelombang penyerangan berikutnya.
Hal itu sangat mirip dengan yang disebut priming effect, yakni semacam dampak ajakan yang seolah disengaja, saat mana para preman ‘sayap kanan’ di Jerman lebih mungkin melakukan penyerangan terhadap kelompok minoritas jika mereka mendengar adanya serangan serupa telah berhasil memaksa korban untuk mengamankan diri ke tempat lain. Sejalan dengan yang di atas, Anderson dan Bushman dalam “The Effects of Media Violence on Society” (dan dimuat dalam sciencemag.org) menyatakan, bahwa berbagai bentuk riset secara jelas menunjukkan adanya kaitan positif antara kekerasan yang ditampilkan media dan peningkatan agresi yang terjadi.
Kita belum tahu bagaimana sebenarnya dan seberapa besar efek program TV di Indonesia terhadap merebaknya kekerasan, karena hal itu memang harus diteliti secara seksama. Tetapi jika mengamati secara lebih serius, dan Anda bisa membuktikannya sendiri, betapa TV kita banyak menayangkan berita kekerasan, live event tentang “kemajuan demokrasi” bangsa ini ( yang sejujurnya menampilkan kemunduran berdemokrasi ), sehingga orang disuguhkan “dagelan demokrasi”bhkan salah-salah bisa mengkoyak kerukunn, kemudian tayangan berita, sinetron  yang beberapa kurang bermutu, dan masih banyak tayangan yang lain, yang penayangannya begitu sering dan atau bahkan bisa dibilang dalam takaran yang terkesan over dosis. Bagi golongan ekonomi mampu mungkin bukan masalah serius, karena mereka bisa menikmati tayangan-tayangan televisi berbayar, bagi masyarakat pada umumnya....?
Namun demikian jangan lantas mengamini pendapat ini, tetapi saksikanlah sendiri. Hitung dan kajilah. Perhatikan apa yang sering muncul di layar kaca Anda: penduduk marah dan melabrak petugas Pemda, remaja tawuran, polemik sesama politisi, artis ricuh dengan dukunnya, calon hakim ‘membela’ pemerkosa, orang tua menggagahi anak sendiri, guru ‘ngerjain’ muridnya, suami memutilasi isteri sendiri gara-gara perselingkuhannya terbongkar, ricuh di pengadilan, keributan di lapangan bola, oknum aparat menyerang rekannya, dan preman serta penjahat yang kian nekad. Tidak  hanya itu, di saat lain, kita melihat sekelompok orang mengusir, membakar, bahkan membunuh saudara atau warga tak berdosa sekampungnya (hanya gara-gara warga itu menganut aliran agama yang berbeda), demonstran merusak fasilitas umum, dan pedagang kaki lima (PKL) mempecundangi aparat yang menertibkan mereka.
Sering di antara kekerasan itu pada waktu dan ruang yang salah -- misal PKL yang menempati tanah negara, atau pengusir warga seagama yang beda aliran -- terhadap korban yang tak berdosa dengan tegangan amarah sangat tinggi, meledak-ledak. Boleh jadi banyak di antara kejadian itu berkait dengan makin demokratisnya negara kita -- sehingga orang merasa bebas untuk melakukan apa saja, termasuk 'bebas melabrak' pihak lain, tak peduli apakah pihak lain itu aparat keamanan, teman, atau bahkan keluarga sendiri ( meskipun untuk yang satu ini masih layak untuk dipertanyakan ).
Studi eksperimental membuktikan hubungan kasual yang nyata. Percobaan laboratorium pun menghasilkan bukti yang jelas. Sementara, eksperimen di lapangan juga mengarahkan adanya dampak sebab-akibat dalam setting yang lebih alami. Selain itu, ini yang tidak kalah penting, studi lintas-cara (cross-sectional studies) menunjukkan hubungan erat antara media violence dengan jenis agresi di dunia nyata. Memang ada yang meremehkan dampak program berita TV, khususnya karena anggapan bahwa program berita adalah ‘refleksi kebenaran realitas sehari-hari’, dan bahwa ia merupakan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kekerasan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Tetapi, bila banyak studi belakangan kian menunjukkan bukti bahwa media violence mempengaruhi kekerasan di tengah masyarakat, tidakkah perlu ada usaha pencegahan yang lebih serius terhadap hal itu? . Karena sejujurnya, mengakui ataupun tidak, bahwa televisi merupakan salah satu diantara sekian “guru bangsa” yang sangat berpengaruh. Semoga KPI bekerja atas azas “mendidik bangsa”, bukan atas azas yang lain. Bravo KPI..!

---mbahbei----( dari berbagai sumber )

0 komentar:

Posting Komentar