Beberapa tahun belakangan ini berbagai
aksi kekerasan, premanisme, dan kemunduran moral begitu marak trjadi di negeri
tercinta Indonesia ini. Hal tersebut tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat
yang bersifat umum, namun sudah merambah di tengah-tengah keluarga dan dunia
pendidikan ( sekolah tingkat dasar ). Sebuah fenomena yang sungguh sangat
mengkhawatirkan dan miris untuk dilihat.
Solusi terbaik untuk
mengantisipasi hal yang demikian bukanlah sesuatu yang gampang dan mudah
didapatkan, karena ihwal terjadinya kasus-kasus tersebut sangat berkaitan
dengan berbagai aspek, seperti aspek sosial, ekonomi, kultur, dan lingkungan
pergaulan, srta yang tidak kalah pentingnya adalah akses informasi yang sangat
terbuka lebar yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja, seperti internet,
dan tayangan-tayangan televisi yang kadang-kadang hanya mengedepankan sisi
profit bagi perusahaan dengan mengesampingkan dampak buruk bagi pemirsanya yang
nota bene mereka tidak semuanya mampu berpikir kritis aklan apa yang
ditontonnya( utamanya anak-anak dan remaja ). Dengan mengedepankan keuntungan
seringkali “tontonan” yang ditayangkan bukan lagi menjadi sebuah “tuntunan”
bagi pemirsanya, namun justru “pembelokan tuntunan”, dan ini acap kali terjadi.
Tayangan televisi memang bukan
satu-satunya biang keladi dari maraknya aksi kekerasan. premanisme dan
kemunduran moral di negeri ini, namun jika kita kaji lebih jauh dan teliti,
sepertinya juga tidak bisa kita anggap enteng pengaruhnya. Di kalangan
anak-anak dan remaja, karakter penjiplakan dan peniruan sangat sering terjadi,
karena memang dunia mereka demikianlah
adanya, masih bersifat labil dan berada dalam tataran mencari bentuk. Jika
setiap saat mereka dihadapkan pada tontonan-tononan yang kurang mendidik tidak
menutup kemungkinan akan terbentuk karakter-karakter yang tidak diharapkan oleh
orang tua khususnya, dan bagi masyarakat serta negara pada umumnya.
Dari sudut psikologi, semua orang
punya potensi untuk berperilaku positif maupun negatif dan berdasarkan hasil
survei, teori lingkungan mengatakan bahwa pengaruh lingkungan lebih
mempengaruhi pribadi seseorang dibandingkan faktor keturunan. Artinya, walaupun
kedua orang tuanya berperilaku baik, namun bisa saja anaknya berperilaku tidak
baik akibat pengaruh lingkungan yang buruk ( termasuk di dalamnya adalah
tontonan yang buruk ). Karena pengaruh lingkungan lebih besar pengaruhnya, yang memungkinkan orang melakukan aksi
kekerasan dan premanisme. Ketika terjadi hal yang demikian, maka “emosional”
menjadi lebih kuat daripada “rasional”. Cara berpikirnyapun pendek, yang
penting bertindak dulu, pikir belakangan, cara berpikirnya menjadi lebih
bersifat spekulatif. Berdasarkan semua teori di atas, maka orangpun sangat
mudah mengambil keputusan untuk melakukan aksi kekerasan dan premanisme.
Ada beberapa contoh tayangan
televisi di negeri ini , baik yang bersifat berita, pariwara, ataupun
infotainment yang selain dipaksa-paksakan untuk ditayangkan namun juga minim
sekali pengaruh positifnya bagi pembetukan dan pengembangan karakter bangsa. Tayangan-tayangan
yang kontraproduktif, menggerus kerukunan dalam keberagaman, kurang pas dengan
kearifan budaya bangsa, dan kurang selaras dengan kultur bangsa. Sehingga
dengan mudahnya “karakter penjiplakan/plagiatisme” berkembang di dunia
anak-anak dan remaja khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Setiap
keluarga mungkin sudah memiliki filter sendiri mengenai tontonan yang
dibolehkan dan tidak dibolehkan untuk ditonton bagi anak-anak mereka. Tapi
siapa bisa mencegah jika misalnya anak-anak ditinggalkan di rumah bersama orang
lain yang tidak mengerti aturan yang telah ditetapkan orang tuanya?, atau
mereka menyaksikan tidak di rumahny sendiri..?.
Komisi Penyiaran Indonesia, beberapa hari lalu
merilis tentang beberapa tayangan televisi yang tidak layak tonton. Dalam
keterangan di situsnya, KPI menyebut, beberapa bulan terakhir, kekerasan yang
menimpa anak-anak dan remaja semakin banyak jumlahnya dan semakin
memprihatinkan, bahkan kekerasan tersebut terjadi di sekolah dan lingkungan
tempat tinggal yang seharusnya aman bagi anak-anak dan remaja. Sejumlah pihak
menduga media khususnya televisi sebagai salah satu pemicu munculnya tindak
kekerasan tersebut. Sepanjang tahun 2013 sampai dengan April 2014, KPI menerima
sebanyak 1.600-an pengaduan masyarakat terhadap program sinetron dan FTV yang
dianggap meresahkan dan membahayakan pertumbuhan fisik dan mental anak serta
mempengaruhi perilaku kekerasan terhadap anak.
Sejak 1 bulan
lalu tepatnya tanggal 11 April 2014, KPI telah melakukan evaluasi program
sinetron dan FTV yang disiarkan 12 stasiun televisi dalam rangka melakukan
pembinaan. Dalam forum evaluasi tersebut hadir juga beberapa production house
(PH) yang memproduksi program-program tersebut. Namun demikian, sampai dengan
hari ini KPI masih menemukan sejumlah pelanggaran terhadap UU Penyiaran serta
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Pelanggaran
tersebut meliputi:
1.
Tindakan bullying (intimidasi) yang dilakukan
anak sekolah.
2. Kekerasan fisik seperti memukul jari dengan
kampak, memukul kepala dengan balok kayu, memukul dengan botol beling, menusuk
dengan pisau, membanting, mencekik, menyemprot wajah dengan obat serangga,
menendang, menampar dan menonjok.
3.
Kekerasan verbal seperti melecehkan kaum miskin,
menghina anak yang memiliki kebutuhan khusus (cacat fisik), menghina orang tua
dan Guru, penggunaan kata-kata yang tidak pantas “anak pembawa celaka, muka
tembok, rambut besi, badan batako”.
4.
Menampilkan percobaan pembunuhan.
5.
Adegan percobaan bunuh diri.
6.
Menampilkan remaja yang menggunakan testpack
karena hamil di luar nikah.
7.
Adanya dialog yang menganjurkan untuk
menggugurkan kandungan.
8.
Adegan seolah memakan kelinci hidup.
9.
Menampilkan seragam sekolah yang tidak sesuai
dengan etika pendidikan.
10. Adegan menampilkan kehidupan bebas yang
dilakukan anak remaja, seperti merokok, minum-minuman keras dan kehidupan dunia
malam.
11.
Adegan percobaan pemerkosaan.
12.
Konflik rumah tangga dan perselingkuhan.
Bahkan
program sinetron dan FTV kerap menggunakan judul-judul yang sangat provokatif
dan tidak pantas, seperti: Sumpah Pocong di Sekolah, Aku Dibuang Suamiku
Seperti Tisu Bekas, Mahluk Ngesot, Merebut Suami dari Simpanan, 3x Ditalak
Suami Dalam Semalam, Aku Hamil Suamiku Selingkuh, Pacar Lebih Penting dari
Istri, Ibu Jangan Rebut Suamiku, Istri dari Neraka aka Aku Benci Istriku.
Seperti yang tersebut sebelumnya,
bahwa dari sisi komunikasi, banyak ahli mensinyalir begitu dahsyatnya peran
media, film dan hiburan terhadap berbagai tindak kekerasan dan kekejaman itu.
Belakangan, sinyalemen itu juga menuding peran program berita, seperti hard
news, buletin dan tayangan ‘current affairs’ kabar berbagai peristiwa.
Di antara ahli ada yang menduga
bahwa berita kekerasan – violent news – yang ditayangkan TV
menyebabkan meluasnya kekhawatiran akan munculnya tindak kriminal. Menurut
mereka, ingatan pada tayangan violent news di TV cenderung lebih kuat ketimbang
jenis informasi lain, sehingga menjadikan perilaku kriminalitas dan kekerasan
kian berperan pada penonton.
Sebagaimana dikatakan Johnston
& Davey dalam buku ‘Media Psychology’ yang ditulis David Giles (2008), pada
level pribadi, berita negatif terbukti meningkatkan kekuatiran personal, meski
pun berita itu tidak langsung berhubungan dengan isi program yang sedang
tayang. Secara umum sering muncul kekuatiran adanya ‘copycat violence’
(kekerasan yang dilakukan gara-gara meniru-niru belaka), khususnya yang terkait
dengan kericuhan masyarakat. Berbagai kericuhan di jalanan pada beberapa
wilayah perkotaan di Inggris, misalnya, seringkali muncul pada saat
berbarengan, dan jelas berperan sebagai katalisator bagi kericuhan-kericuhan di
wilayah-wilayah lain.
Barangkali begitu pula yang
terjadi di Indonesia. Entahlah. Yang jelas, di Jerman, hasil penelitian lain
menunjukkan bahwa serangan kelompok rasis ‘sayap kanan’ terhadap etnik
minoritas kentara sekali memiliki pola yang berkaitan dengan peliputan media
terhadap penyerangan-penyerangan sebelumnya. Dalam kaitan itu, para peneliti
juga melihat hasil serangan-serangan yang terjadi. Pada serangan gelombang
pertama, misalnya, korban cenderung untuk pindah atau mengungsi ke daerah yang
lebih aman – yang boleh jadi merupakan tujuan utama yang diinginkan penyerang.
Ternyata, berita tentang pengungsian para korban itu menjadi pemantik bagi
gelombang penyerangan berikutnya.
Hal itu sangat mirip dengan yang
disebut priming effect, yakni semacam dampak ajakan yang seolah disengaja, saat
mana para preman ‘sayap kanan’ di Jerman lebih mungkin melakukan penyerangan
terhadap kelompok minoritas jika mereka mendengar adanya serangan serupa telah
berhasil memaksa korban untuk mengamankan diri ke tempat lain. Sejalan dengan
yang di atas, Anderson dan Bushman dalam “The Effects of Media Violence on Society”
(dan dimuat dalam sciencemag.org) menyatakan, bahwa berbagai bentuk riset
secara jelas menunjukkan adanya kaitan positif antara kekerasan yang
ditampilkan media dan peningkatan agresi yang terjadi.
Kita belum tahu bagaimana
sebenarnya dan seberapa besar efek program TV di Indonesia terhadap merebaknya
kekerasan, karena hal itu memang harus diteliti secara seksama. Tetapi jika
mengamati secara lebih serius, dan Anda bisa membuktikannya sendiri, betapa TV
kita banyak menayangkan berita kekerasan, live event tentang “kemajuan
demokrasi” bangsa ini ( yang sejujurnya menampilkan kemunduran berdemokrasi ), sehingga
orang disuguhkan “dagelan demokrasi”bhkan salah-salah bisa mengkoyak kerukunn, kemudian
tayangan berita, sinetron yang beberapa kurang
bermutu, dan masih banyak tayangan yang lain, yang penayangannya begitu sering
dan atau bahkan bisa dibilang dalam takaran yang terkesan over dosis. Bagi
golongan ekonomi mampu mungkin bukan masalah serius, karena mereka bisa
menikmati tayangan-tayangan televisi berbayar, bagi masyarakat pada
umumnya....?
Namun demikian jangan lantas
mengamini pendapat ini, tetapi saksikanlah sendiri. Hitung dan kajilah.
Perhatikan apa yang sering muncul di layar kaca Anda: penduduk marah dan
melabrak petugas Pemda, remaja tawuran, polemik sesama politisi, artis ricuh
dengan dukunnya, calon hakim ‘membela’ pemerkosa, orang tua menggagahi anak
sendiri, guru ‘ngerjain’ muridnya, suami memutilasi isteri sendiri gara-gara
perselingkuhannya terbongkar, ricuh di pengadilan, keributan di lapangan bola,
oknum aparat menyerang rekannya, dan preman serta penjahat yang kian nekad. Tidak
hanya itu, di saat lain, kita melihat
sekelompok orang mengusir, membakar, bahkan membunuh saudara atau warga tak
berdosa sekampungnya (hanya gara-gara warga itu menganut aliran agama yang
berbeda), demonstran merusak fasilitas umum, dan pedagang kaki lima (PKL) mempecundangi
aparat yang menertibkan mereka.
Sering di antara kekerasan itu pada
waktu dan ruang yang salah -- misal PKL yang menempati tanah negara, atau
pengusir warga seagama yang beda aliran -- terhadap korban yang tak berdosa
dengan tegangan amarah sangat tinggi, meledak-ledak. Boleh jadi banyak di
antara kejadian itu berkait dengan makin demokratisnya negara kita -- sehingga
orang merasa bebas untuk melakukan apa saja, termasuk 'bebas melabrak' pihak
lain, tak peduli apakah pihak lain itu aparat keamanan, teman, atau bahkan
keluarga sendiri ( meskipun untuk yang satu ini masih layak untuk dipertanyakan
).
Studi eksperimental membuktikan
hubungan kasual yang nyata. Percobaan laboratorium pun menghasilkan bukti yang
jelas. Sementara, eksperimen di lapangan juga mengarahkan adanya dampak
sebab-akibat dalam setting yang lebih alami. Selain itu, ini yang tidak kalah
penting, studi lintas-cara (cross-sectional studies) menunjukkan hubungan erat
antara media violence dengan jenis agresi di dunia nyata. Memang ada yang
meremehkan dampak program berita TV, khususnya karena anggapan bahwa program
berita adalah ‘refleksi kebenaran realitas sehari-hari’, dan bahwa ia merupakan
kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kekerasan nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Tetapi, bila banyak studi
belakangan kian menunjukkan bukti bahwa media violence mempengaruhi kekerasan
di tengah masyarakat, tidakkah perlu ada usaha pencegahan yang lebih serius
terhadap hal itu? . Karena sejujurnya, mengakui ataupun tidak, bahwa televisi
merupakan salah satu diantara sekian “guru bangsa” yang sangat
berpengaruh. Semoga KPI bekerja atas azas “mendidik bangsa”, bukan atas azas yang
lain. Bravo KPI..!
---mbahbei----( dari berbagai sumber )
0 komentar:
Posting Komentar