.

Senin, 10 November 2014

Menggunakan Media Pembelajaran dalam mengajar ( Antara Enggan dan Keharusan )



Sepakat ataupun tidak sepakat, kita memang harus sepakat, bahwa media pembelajaran  memiliki  peran yang sangat penting dan sangat besar dalam rangka membantu tercapainya tujuan pembelajaran. Banyak jenis dan ragam media di sekitar kita yang dapat  kita temukan dan kembangkan untuk dapat kita gunakan  sebagai sarana penunjang pembelajaran.  Apalagi di era sekarang ini, dengan kemajuan iptek yang begitu pesatnya, kita bebas mengakses apapun yang kita butuhkan tanpa mengenal tempat dan waktu,  kapan dan di mana saja kita bisa mengakses inforamsi yang yang kita butuhkan. Dengan kemudahan tersebut sangat terbuka lebar ruang kita sebagai pendidik untuk senantiasa mengembangkan kreatifitas, berinovasi untuk dapat menghasilkan produk-produk media pembelajaran. Masalahnya adalah, mau apa tidak...? Mengapa sampai saat ini masih ada guru yang enggan menggunakan media dalam mengajar..? Apalagi berinovasi untuk membuatnya..?

Beberapa alasan  berikut, mungkin merupakan jawabannya. 
Pertama, guru menganggap bahwa menggunakan media itu menambah repot.  Jika kita jujur,  barangkali inilah alasan utamanya. Mengajar dengan menggunakan media memang perlu persiapan. Apalagi jika media itu menggunakan  peralatan elektronik seperti video atau komputer. Guru sudah repot dengan membuat  persiapan  mengajar, jadwal yang  padat, mengejar target kurikulum, dan lain-lain. Belum lagi repot dengan urusan keluarga. Mana sempat lagi memikirkan media. Demikian kurang lebih alasan yang sering dikemukakan oleh para guru. Padahal kalau saja para guru itu mau berpikir dari aspek yang lain, bahwa dengan media pembelajaran akan lebih efektif, maka alasan repot itu akan menjadi tidak relevan lagi. Hal yang harus kita pertimbangkan adalah bahwa  dengan sedikit repot, namun dengan media kita akan memperoleh hasil yang optimal. Namun kenapa masih ada keengganan...? Masih ada anggapan bahwa pembuatan media hanya digunakan untuk sekali pembelajaran. Padahal sesungguhnya banyak jenis media sederhana yang bisa digunakan dalam jangka waktu lama.   Sekali kita menyiapkan media, selanjutnya tidak repot lagi, karena media akan dapat digunakan untuk beberapa kali sajian dengan sasaran yang berbeda-beda.
Kedua, ada lagi yang beranggapan bahwa media merupakan barang canggih dan mahal.  Alasan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Media tidak selalu canggih dan mahal. Nilai penting dari sebuah media bukan terletak pada kecanggihannya, apalagi kemahalan harganya, melainkan terletak pada efektifitas dan efisiensinya dalam membantu proses pembelajaran. Banyak media sederhana yang dapat dikembangkan sendiri oleh guru dengan beaya murah. Kalaupun  kita menggunakan jenis media canggih semacam media audio-visual, hal ini juga akan menjadi murah jika dimanfaatkan oleh lebih banyak siswa.  

Ketiga, kekurangsiapan guru itu sendiri, semisal : tidak bisa atau takut menggunakan ( gagap teknologi ). Gagap teknologi (gaptek), ternyata juga masih dialami oleh sebagian guru kita. Ada beberapa guru yang masih merasa “asing dan takut” dengan peralatan elektronik. Mungkin takut kesetrum atau takut salah pencet. Alasan ini menjadi lebih parah kalau ditambah takut rusak. Dengan alasan seperti itu,  maka di beberapa sekolah  banyak peralatan media yang masih tetap tersimpan rapih di ruang penyimpanan, belum pernah dimanfaatkan sejak peralatan itu ada. Padahal sesungguhnya dan seharusnyalah, bahwa lebih baik peralatan itu rusak dipakai daripada rusak (juga) dalam kemasan. Kalau saja kita mau mencoba dan sedikit berlatih, membiasakan diri, istilah   “tidak bisa “  dan “takut”  tak akan  lagi menjadi alasan.

Keempat, media itu hanya untuk hiburan sedangkan belajar itu harus serius. Alasan ini memang jarang ditemui, namun ada guru yang berpandangan demikian. Jaman dulu, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang serius sedangkan media identik dengan hiburan. Tidak mungkin melakukan proses belajar sambil santai. Sebuah paradigma yang harus dirubah.  Jika belajar dapat dilakukan dengan menyenangkan, mengapa harus dilakukan dengan tegang dan menyeramkan..? Semestinya para praktisi pendidikan  harus bisa mengembangkan media yang  bisa membelajarkan siswa sekaligus menghibur.  Alangkah idealnya jika kita mampu membuat sebuah media yang bisa menyajikan pesan-pesan belajar, sambil menghibur siswa.  Ini memang sangat membutuhkan terobosan bagi guru untuk mengembangkn kreatifitas .  Jika diibaratkan minuman, media hiburan itu seperti minuman kemasan, sedangkan media pembelajaran seperti  jamu.  Wajar jika anak lebih suka minum minuman kemasan dibanding dengan minum jamu. Sekalipun kita mengatakan  bahwa media pembelajaran itu penting dan menyehatkan bagai jamu, namun anak tetap saja lebih suka memilih media hiburan yang jelas-jelas lebih segar bagaikan minuman kemasan. Tugas kita adalah bagaimana bisa membuat “jamu rasa minuman kemasan”, membuat media pembelajaran yang menarik dan menyenangkan namun cocok sebagai sumber belajar siswa.


Kelima, kurang tersedianya media pembelajaran di sekolah. Kurang tersedianya  media pembelajaran di sekolah merupakan alasan klsik yang sering ditemui di lapangan, terutama di daerah-daerah.  Akan tetapi seorang guru tak boleh menyerah begitu saja.  Sesuai dengan keprofesionalnya, seorang guru dituntut untuk penuh dengan inisiatif dan kreatifitas. Perlu diingat bahwa, salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yang profesioal adalah kemampuannya dalam memanfaatkan media pembelajaran. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, media tidak harus canggih. Banyak jenis media yang dapat dibuat sendiri oleh guru.  Guru bisa membimbing siswa , misalnya, untuk mengoleksi berbagai benda, binatang atau  tumbuhan tertentu yang kemudian disimpan secara khusus untuk dijadikan sebagai sumber belajar bagi siswa. Jika setiap guru melakukan hal ini sesuai sesuai bidang pelajaran masing-masing,  maka   alangkah beraneka ragamnya jenis sumber belajar yang ada di sekolah. Bagi pimpinan sekolah, pengadaan media pembelajaran di sekolah hendaknya juga menjadi program rutin yang perlu diperhatikan, terutama untuk pengadaan jenis media yang tidak mungkin dibuat sendiri oleh guru. Jangan biarkan ruang kelas gersang hanya ada papan tulis dan kapur. Karena pada era sekarang sudah bukan jamannya lagi proses pembelajaran hanya bersifat “kapur dan tutur” atau “chalk and talk”.

Keenam, Adalah kebiasaan guru yang hanya mengandalkan ceramah. Mengajar dengan hanya mengadandalkan verbalistik saja memang lebih mudah, tidak perlu banyak persiapan.  Dari kepentingan guru, cara tersebut memang lebih enak. Namun kita harus mempertimbangkan kepentingan siswa yang belajar, bukan selera guru semata.  Bagi guru yang pandai bicara,   mengajar dengan mengandalkan ceramah  mungkin saja bisa menarik perhatian siswa.  Namun tidak semua guru memiliki kepiawaian untuk “berpidato”  yang mampu memikat seluruh siswanya.  Lagi pula, bukankah tidak semua topik dan jenis materi pelajaran cocok untuk disajikan melalui ceramah?  Seorang guru yang ahli berceramah sekalipun , justru akan semakin efektif  jika ceramah tersebut dibantu dengan berbagai macam media penunjang.  Guru yang baik perlu menggunakan multi metode dan multi media dalam melakukan kegiatan pembelajaran, bukan hanya “kapur dan tutur” atau “chalk and talk” seperti tersebut di atas.   Media pembelajaran bukan sekedar berfungsi sebagai alat bantu mengajar, melainkan media itu sendiri juga dapat memerankan fungsi sebagai penyampai pesan belajar.    Dengan begitu, tidak semua  informasi pelajaran harus disajikan oleh guru.  Apalagi kita menyadari bahwa guru bukanlah manusia super yang serba bisa dan serba tahu tentang segala informasi. Untuk itu, setiap kali  menjalankan perannya sebagai pengajar, guru membutuhkan bantuan media.  Dalam pembelajaran,  tak ada salahnya guru  berbagi peran dengan media.  Biarkanlah media membantu memerankan sebagian  tugas kita  untuk menyajikan informasi belajar. Dengan begitu, para guru akan lebih banyak memiliki waktu untuk melakukan peran lain yang tak kalah penting. Di lain fihak, media hanya sebuah alat.  Di balik alat itu adalah guru, yang tetap memiliki peran sentral dalam proses pembelajaran. Bagaimanapun,  proses pendidikan membutuhkan “sentuhan manusiawi”  yang tak bisa tergantikan perannya oleh media manapun. Secanggih apapun media itu, pasti memiliki kelemahan. Media  ibarat sebuah “busur anak panah” dan materi pelajaran merupakan anak panahnya. Melesat tepat pada sasaran atu tidak, adalah  sangat tergantung pada kepiawian menggunakan busur.  Adalah tugas guru untuk mengasah ketrampilannya dalam menggunakan busur tersebut, sehingga anak panah mampu melesat tepat pada sasaran yang dituju dalam rangka mencapai   tujuan pembelajarn yang diharapkan


*mbahbei ( dari berbagai sumber )

0 komentar:

Posting Komentar