Sepakat ataupun tidak sepakat, kita
memang harus sepakat, bahwa media pembelajaran
memiliki peran yang sangat
penting dan sangat besar dalam rangka membantu tercapainya tujuan pembelajaran.
Banyak jenis dan ragam media di sekitar kita yang dapat kita temukan dan kembangkan untuk dapat kita
gunakan sebagai sarana penunjang
pembelajaran. Apalagi di era sekarang
ini, dengan kemajuan iptek yang begitu pesatnya, kita bebas mengakses apapun
yang kita butuhkan tanpa mengenal tempat dan waktu, kapan dan di mana saja kita bisa mengakses
inforamsi yang yang kita butuhkan. Dengan kemudahan tersebut sangat terbuka
lebar ruang kita sebagai pendidik untuk senantiasa mengembangkan kreatifitas,
berinovasi untuk dapat menghasilkan produk-produk media pembelajaran. Masalahnya
adalah, mau apa tidak...? Mengapa sampai saat ini masih ada guru yang enggan
menggunakan media dalam mengajar..? Apalagi berinovasi untuk membuatnya..?
Beberapa alasan berikut, mungkin merupakan jawabannya.
Pertama, guru menganggap
bahwa menggunakan media itu menambah repot.
Jika kita jujur, barangkali
inilah alasan utamanya. Mengajar dengan menggunakan media memang perlu
persiapan. Apalagi jika media itu menggunakan
peralatan elektronik seperti video atau komputer. Guru sudah repot
dengan membuat persiapan mengajar, jadwal yang padat, mengejar target kurikulum, dan
lain-lain. Belum lagi repot dengan urusan keluarga. Mana sempat lagi memikirkan
media. Demikian kurang lebih alasan yang sering dikemukakan oleh para guru.
Padahal kalau saja para guru itu mau berpikir dari aspek yang lain, bahwa
dengan media pembelajaran akan lebih efektif, maka alasan repot itu akan
menjadi tidak relevan lagi. Hal yang harus kita pertimbangkan adalah bahwa dengan sedikit repot, namun dengan media kita
akan memperoleh hasil yang optimal. Namun kenapa masih ada keengganan...? Masih
ada anggapan bahwa pembuatan media hanya digunakan untuk sekali pembelajaran. Padahal
sesungguhnya banyak jenis media sederhana yang bisa digunakan dalam jangka
waktu lama. Sekali kita menyiapkan
media, selanjutnya tidak repot lagi, karena media akan dapat digunakan untuk
beberapa kali sajian dengan sasaran yang berbeda-beda.
Kedua, ada lagi yang
beranggapan bahwa media merupakan barang canggih dan mahal. Alasan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Media
tidak selalu canggih dan mahal. Nilai penting dari sebuah media bukan terletak
pada kecanggihannya, apalagi kemahalan harganya, melainkan terletak pada efektifitas
dan efisiensinya dalam membantu proses pembelajaran. Banyak media sederhana
yang dapat dikembangkan sendiri oleh guru dengan beaya murah. Kalaupun kita menggunakan jenis media canggih semacam
media audio-visual, hal ini juga akan menjadi murah jika dimanfaatkan oleh
lebih banyak siswa.
Ketiga, kekurangsiapan
guru itu sendiri, semisal : tidak bisa atau takut menggunakan ( gagap teknologi
). Gagap teknologi (gaptek), ternyata juga masih dialami oleh sebagian guru
kita. Ada beberapa guru yang masih merasa “asing dan takut” dengan peralatan
elektronik. Mungkin takut kesetrum atau takut salah pencet. Alasan ini menjadi
lebih parah kalau ditambah takut rusak. Dengan alasan seperti itu, maka di beberapa sekolah banyak peralatan media yang masih tetap
tersimpan rapih di ruang penyimpanan, belum pernah dimanfaatkan sejak peralatan
itu ada. Padahal sesungguhnya dan seharusnyalah, bahwa lebih baik peralatan itu
rusak dipakai daripada rusak (juga) dalam kemasan. Kalau saja kita mau mencoba
dan sedikit berlatih, membiasakan diri, istilah “tidak bisa “ dan “takut”
tak akan lagi menjadi alasan.
Keempat, media itu hanya
untuk hiburan sedangkan belajar itu harus serius. Alasan ini memang jarang
ditemui, namun ada guru yang berpandangan demikian. Jaman dulu, kegiatan
belajar merupakan kegiatan yang serius sedangkan media identik dengan hiburan.
Tidak mungkin melakukan proses belajar sambil santai. Sebuah paradigma yang
harus dirubah. Jika belajar dapat
dilakukan dengan menyenangkan, mengapa harus dilakukan dengan tegang dan
menyeramkan..? Semestinya para praktisi pendidikan harus bisa mengembangkan media yang bisa membelajarkan siswa sekaligus
menghibur. Alangkah idealnya jika kita
mampu membuat sebuah media yang bisa menyajikan pesan-pesan belajar, sambil
menghibur siswa. Ini memang sangat
membutuhkan terobosan bagi guru untuk mengembangkn kreatifitas . Jika diibaratkan minuman, media hiburan itu
seperti minuman kemasan, sedangkan media pembelajaran seperti jamu.
Wajar jika anak lebih suka minum minuman kemasan dibanding dengan minum jamu.
Sekalipun kita mengatakan bahwa media
pembelajaran itu penting dan menyehatkan bagai jamu, namun anak tetap saja
lebih suka memilih media hiburan yang jelas-jelas lebih segar bagaikan minuman
kemasan. Tugas kita adalah bagaimana bisa membuat “jamu rasa minuman kemasan”,
membuat media pembelajaran yang menarik dan menyenangkan namun cocok sebagai
sumber belajar siswa.
Kelima, kurang tersedianya
media pembelajaran di sekolah. Kurang tersedianya media pembelajaran di sekolah merupakan alasan klsik yang sering ditemui di lapangan, terutama di daerah-daerah. Akan tetapi seorang guru tak boleh menyerah
begitu saja. Sesuai dengan keprofesionalnya,
seorang guru dituntut untuk penuh dengan inisiatif dan kreatifitas. Perlu
diingat bahwa, salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yang
profesioal adalah kemampuannya dalam memanfaatkan media pembelajaran. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, media tidak harus canggih. Banyak jenis media yang
dapat dibuat sendiri oleh guru. Guru
bisa membimbing siswa , misalnya, untuk mengoleksi berbagai benda, binatang
atau tumbuhan tertentu yang kemudian
disimpan secara khusus untuk dijadikan sebagai sumber belajar bagi siswa. Jika
setiap guru melakukan hal ini sesuai sesuai bidang pelajaran
masing-masing, maka alangkah beraneka ragamnya jenis sumber
belajar yang ada di sekolah. Bagi pimpinan sekolah, pengadaan media pembelajaran
di sekolah hendaknya juga menjadi program rutin yang perlu diperhatikan, terutama
untuk pengadaan jenis media yang tidak mungkin dibuat sendiri oleh guru. Jangan
biarkan ruang kelas gersang hanya ada papan tulis dan kapur. Karena pada era
sekarang sudah bukan jamannya lagi proses pembelajaran hanya bersifat “kapur
dan tutur” atau “chalk and talk”.
Keenam, Adalah kebiasaan guru yang hanya mengandalkan ceramah. Mengajar
dengan hanya mengadandalkan verbalistik saja memang lebih mudah, tidak perlu
banyak persiapan. Dari kepentingan guru,
cara tersebut memang lebih enak. Namun kita harus mempertimbangkan kepentingan
siswa yang belajar, bukan selera guru semata.
Bagi guru yang pandai bicara,
mengajar dengan mengandalkan ceramah
mungkin saja bisa menarik perhatian siswa. Namun tidak semua guru memiliki kepiawaian
untuk “berpidato” yang mampu memikat
seluruh siswanya. Lagi pula, bukankah
tidak semua topik dan jenis materi pelajaran cocok untuk disajikan melalui
ceramah? Seorang guru yang ahli
berceramah sekalipun , justru akan semakin efektif jika ceramah tersebut dibantu dengan berbagai
macam media penunjang. Guru yang baik
perlu menggunakan multi metode dan multi media dalam melakukan kegiatan
pembelajaran, bukan hanya “kapur dan tutur” atau “chalk
and talk” seperti tersebut di atas.
Media pembelajaran bukan sekedar berfungsi sebagai alat bantu mengajar,
melainkan media itu sendiri juga dapat memerankan fungsi sebagai penyampai
pesan belajar. Dengan begitu, tidak
semua informasi pelajaran harus
disajikan oleh guru. Apalagi kita
menyadari bahwa guru bukanlah manusia super yang serba bisa dan serba tahu
tentang segala informasi. Untuk itu, setiap kali menjalankan perannya sebagai pengajar, guru
membutuhkan bantuan media. Dalam
pembelajaran, tak ada salahnya guru berbagi peran dengan media. Biarkanlah media membantu memerankan
sebagian tugas kita untuk menyajikan informasi belajar. Dengan
begitu, para guru akan lebih banyak memiliki waktu untuk melakukan peran lain
yang tak kalah penting. Di lain fihak, media hanya sebuah alat. Di balik alat itu adalah guru, yang tetap
memiliki peran sentral dalam proses pembelajaran. Bagaimanapun, proses pendidikan membutuhkan “sentuhan
manusiawi” yang tak bisa tergantikan
perannya oleh media manapun. Secanggih apapun media itu, pasti memiliki
kelemahan. Media ibarat sebuah “busur
anak panah” dan materi pelajaran merupakan anak panahnya. Melesat tepat
pada sasaran atu tidak, adalah sangat
tergantung pada kepiawian menggunakan busur.
Adalah tugas guru untuk mengasah ketrampilannya dalam menggunakan busur
tersebut, sehingga anak panah mampu melesat tepat pada sasaran yang dituju
dalam rangka mencapai tujuan pembelajarn
yang diharapkan
*mbahbei ( dari berbagai sumber )
0 komentar:
Posting Komentar