Mana yg lebih Anda pilih antara bersikap baik yg pura-pura
dan jahat yg “ikhlas,” antara dermawan pura-pura atau pelit yg tulus, antara
sopan palsu atau tidak beradab yg jujur, antara sikap etis normatif yg
dibuat-buat dg sikap layaknya bagai ‘tidak pernah makan sekolah’ tapi asli?
Sebagaimana dalam opini apapun, hal yg satu ini juga
mengandung kontroversi. Dan itu dimaklumi namanya juga manusia. Namun demikian,
apabila standar umum dipakai, maka pendapat mayoritas akan berpihak pada yg
pertama: lebih bagus berpura-pura baik, berpura-pura sopan, berpura-pura
dermawan, berpura-pura beradab daripada “ikhlas, jujur dan tulus” dalam
kekurangan-ajaran, kepelitan, ketidaketisan, kekurangberadaban dan
keculasan.Mengapa demikian? Banyak fakta yg bisa kita ambil dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam dunia bisnis murni, bisnis hiburan, kehidupan beragama,
dll yg mendukung tesis perlunya berpura-pura baik daripada jujur dalam
ketidakbaikan.
Beberapa contoh kecil sbb:
(a) John Robert Powers Jakarta, pimpinan Indayati Oetomo,
adalah lembaga pengembangan kepribadian yg salah satu layanannya adalah
‘mempelajari cara memahami diri sendiri baik secara fisik, moral maupun
kemampuan berpikir.’ Artinya, setelah mendapat pelatihan yg cukup di JRP ini,
peserta diharapkan dapat “berpura-pura” bersikap dan berperilaku yg sesuai dg
norma-norma pergaulan yg standar sehingga dg demikian diharapkan apapun yg
dilakukan oleh peserta JRP dalam berbisnis akan semakin menarik dan mengesankan
siapapun yg berhubungan dengannya baik itu klien, kolega, atasan, bawahan, dll.
JRP Indonesia adalah cabang dari JRP internasional yg berpusat di Amerika
Serikat.
(b) Sejak kecil kita diajari dan diberitahu orang tua kita
apa yg baik dan mesti atau sebaiknya dilakukan; dan apa yg tidak baik atau tabu
yg sebaiknya dihindari. Pada dasarnya ini juga pembelajaran untuk
“berpura-pura” baik yg terkadang bertentangan dg insting kita tapi harus kita
ikuti.
(c) Semua orang Indonesia adalah pemeluk agama tertentu,
baik itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, dll. Dalam kitab-kitab suci kita masing-masing
kembali nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan nilai-nilai keburukan dilarang
dan diperintah untuk dijauhi. Intinya, agama juga memerintahkan kita untuk
“berpura-pura” baik.
Mengapa kita harus berbuat dan berperilaku yg baik bahkan
kalau perlu dilakukan dg berpura-pura? Terlalu panjang untuk dianalisa
satu-persatu, namun intinya adalah (1) untuk memelihara tatatan sosial yg baik,
dan (2) menghindari anarki (keributan) dan permusuhan yg apabila dua poin ini
dapat diimplementasi, maka diharapkan akan tercapailah tujuan hidup utama umat
manusia yg selalu dicari dan didambakan, yaitu kebahagiaan.
Karena kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila setiap
individu berperilaku sesuai dg standar norma sosial dan etika, maka
berpura-pura baik sangat dianjurkan daripada ketiakberadaban yg “tulus ikhlas.”
Setidaknya ini sebagai langkah pertama menuju tangga berikutnya di mana berbuat
dan berperilaku baik sudah menjadi insting perilaku keseharian.
Last but not the least, apapun yg sudah dan sedang kita
lakukan; baik atau buruk, akan memiliki konsekuensinya sendiri dan akan menjadi
patokan orang-orang sekitar kita akan kredibilitas kepribadian kita.
sumber : afatih.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar