Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh menyatakan bahwa
berdasarkan pemetaan Kementerian Pendidikan Nasional, Indonesia hingga 2014
membutuhkan tambahan guru sebanyak 300 ribu orang. Namun, dengan mekanisme yang ada, dengan
komposisi 1:24 (1 guru mengajar 24 siswa), maka kebutuhan tersebut turun
menjadi 180 ribu guru. Sedang bila
melakukan program multi grade, dimana guru bisa mengajar lebih dari satu mata
pelajaran, maka kebutuhan guru tersebut menjadi 40 ribu orang.
Menurut Mendiknas, konsep multi grade bila dimanfaatkan
dengan baik dengan penataan regulasi yang juga baik, akan menghasilkan
efisiensi yang besar. Pasalnya setiap
guru diberi kewenangan mengajar sesuai dengan kelompok pelajaran yang
dikuasainya. Guru matemarika bisa
mengajar fisika dan kimia. Ada pelajaran mayor dan ada pelajaran minor.
''Mayornya tetap satu, minornya bisa dua atau lebih,'' ungkap Mendiknas saat
jumpa pers penutupan Rembuk Nasional Pendidikan, 18 Maret 2011 di Depok.
Konsep multi grade memungkinkan pemerintah menghemat anggaran
miliaran rupiah. Dana dari penghematan
tersebut dapat digunakan untuk pengembangan guru, pemberiaan beasiswa dan
penambahan fasilitas.
Konsep Pendidikan Multi Grade
Konsep multi grade dapat dikatakan sebagai model
“Pembelajaran Rangkap Kelas (PRK)”. Konsep ini dapat menjawab masalah klasik
pendidikan di negeri ini, khususnya masalah tidak meratanya distribusi guru,
terutama di daerah terpencil. Di mana
keadaan memaksa guru mengajar lebih dari satu mata pelajaran bahkan mengajar
lebih dari satu kelas.
Dari berbagai literatur yang ada, PRK tidak hanya terbatas
di kalangan negara-negara yang sedang berkembang saja. Ternyata negara-negara
maju juga ikut menerapkan model PRK karena memang menjadi kebutuhan. Beberapa
negara maju yang menerapkan model PRK adalah Amerika Serikat, Australia,
Finlandia, Inggris, Jepang, Jerman, dan Kanada. Penerapan model PRK pada
umumnya lebih banyak dilakukan pada satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Jika
demikian ini keadaannya, maka itu berarti bahwa banyak satuan pendidikan SD
yang dikelola oleh jumlah guru yang sangat terbatas atau bahkan dikelola oleh
hanya seorang guru (one-teacher school).
Ada beberapa model atau pola pembelajaran yang dapat
dikembangkan dalam PRK tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing daerah.
Setidak-tidaknya, ada 5 model/pola PRK menurut Anwas M. Oos, yaitu: (1) seorang
guru menghadapi siswa yang berada pada dua ruangan untuk dua tingkatan kelas
yang berbeda, (2) seorang guru menghadapi siswa dalam tiga tingkatan kelas yang
berbeda dalam dua ruangan kelas, (3) seorang guru menghadapi dua tingkatan
kelas yang berbeda dalam satu ruangan, (4) seorang guru menghadapi tiga
tingkatan kelas yang berbeda pada dua ruangan kelas, dan (5) seorang guru
menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan kelas.
Di dalam proses belajar-mengajar model PRK yang
dilaksanakan, para peserta didik dikondisikan sedemikian rupa agar mereka
senantiasa aktif belajar dan khususnya belajar mandiri (independent learning),
baik secara perseorangan maupun kelompok, tanpa harus sepenuhnya tergantung
pada guru.
Salah satu pendekatan dalam PRK dan yang sekaligus juga
merupakan karakteristik utama adalah adanya pemisahan atau segregasi. Guru
membuat pemisahan yang jelas antara setiap tingkatan, setiap mata pelajaran,
setiap kelompok anak yang berada di dalam kelas. Anak-anak yang termasuk ke
dalam satu tingkatan diorganisasikan untuk berada dalam satu kelompok
tersendiri. Sebagai contoh: anak-anak dari tingkatan/kelas 1 dan 2 duduk
bersama membentuk satu kelompok. Demikian juga dengan anak-anak kelas 3 dan 4.
Kemudian, guru akan mencoba menjelaskan satu mata pelajaran kepada
masing-masing kelompok secara bergantian. Artinya, akan ada pelajaran
matematika untuk kelas 4 dan pelajaran matematika untuk kelas 5 dan demikian
selanjutnya.
Konsep PRK mengandung beberapa kriteria, yaitu: (a) adanya
penggabungan siswa yang berasal dari 2 atau lebih tingkatan, (b) seorang guru
ditugaskan untuk membelajarkan para siswa gabungan yang terdiri dari beberapa
tingkatan, (c) seorang guru melaksanakan tugas-tugas mengajarnya kepada para
siswa gabungan secara serempak, dan (d) siswa secara individual maupun di dalam
kelompok (tingkatan) tetap dikondisikan oleh guru untuk tetap aktif belajar
sekalipun guru sedang memberikan bimbingan kepada siswa tingkatan tertentu.
Prosentase jumlah SD yang menerapkan model PRK (terutama
“Sekolah Satu Guru”) di beberapa negara adalah: (a) Peru (40%), (b) Northern
Territory of Australia (40%), (c) Swedia (35%), (d) Zambia (26%), dan (e)
Perancis (22%) (Little, 1995).
Pada sekolah yang menerapkan PRK, para guru mengajar 2 atau
lebih tingkatan pada satu kelas. Pemerintah di beberapa negara mempromosikan
sekolah-sekolah PRK untuk para peserta didik yang tinggal di daerah-daerah
pedesaan dan terpencil dengan jumlah penduduknya yang jarang dan kurang
beruntung (disadvantaged). Dengan menghadirkan/mendatangkan sekolah ke
lingkungan anak-anak, maka Pemerintah mencoba mencari terobosan untuk (1)
mengurangi kesenjangan pendidikan antara anak-anak di daerah perkotaan dan
pedesaan serta (2) memberikan layanan pendidikan yang dapat diakses dengan
mudah oleh anak-anak usia sekolah dalam rangka pelaksanaan Pendidikan Dasar
Universal. Para guru yang akan ditempatkan pada sekolah-sekolah ragam kelas
dibekali dengan pelatihan tentang cara-cara mengajarkan materi pelajaran yang
berbeda kepada peserta didik yang berbeda namun berada pada satu kelas.
Model Sekolah Dasar yang menerapkan PRK di Jepang hanya
diperkenankan untuk menggabungkan 2 tingkatan ke dalam satu kelas. Penggabungan
2 tingkatan ini dinilai masih relatif lebih mudah untuk dikelola oleh seorang
guru. Kondisinya akan jauh lebih sulit lagi apabila Sekolah Dasar hanya
dikelola oleh satu orang guru atau disebut dengan istilah “Sekolah Satu Guru”
(one-teacher schools). Artinya, guru yang ada melaksanakan berbagai tugas,
tidak hanya yang bersifat akademik atau pembelajaran tetapi juga yang sifatnya
administratif.
Sehubungan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang hanya
memperkenankan penggabungan 2 tingkatan ke dalam satu kelas, maka untuk
kepentingan kegiatan pembelajaran, dikemukakan oleh Takako Suzuki bahwa
pemerintah mengembangkan kurikulum khusus yang siklusnya 2 tahunan yang
didasarkan pada kebijakan kurikulum nasional yang bersifat umum. Pengembangan
kurikulum yang akan digunakan oleh guru yang mengajar di kelas-kelas ragam
tingkatan ini disesuaikan juga dengan kondisi lokal.
Sekalipun telah dibekali dengan kurikulum khusus yang
dikembangkan untuk kepentingan pembelajaran siswa pada kelas gabungan, namun dikemukakan
oleh Takaku Suzuki bahwa para guru masih belum mengubah strategi kegiatan
belajar-mengajarnya. Mereka masih menerapkan strategi belajar-mengajar untuk
kelas yang hanya satu tingkat (Suzuki, 2004).
Sedangkan di Vietnam, ukuran kelas pada SD yang menerapkan PRK hanya
dapat menampung sekitar 20 anak. Seorang guru memberikan pelajaran yang berbeda
pada waktu yang sama kepada peserta didik yang terdiri atas beberapa tingkatan
yang berbeda. Sebagai contoh, ada satu kelas yang ditempati oleh 13 anak (3
wanita dan 10 pria) yang berasal dari 2 tingkatan/kelas dan di antara siswa ini
hanya seorang anak yang berbeda tingkat/kelasnya. Pekerjaan ekstra yang diemban
oleh para guru yang mengajar di sekolah ragam kelas/tingkatan mendapat tambahan
gaji 50% jika hanya menangani 2 tingkatan peserta didik dan tambahan 75% bagi
para guru yang bertanggungjawab atas 3 atau lebih tingkatan peserta didik
(Pridmore, 2004).
Banyak model pembelajaran ragam kelas/tingkatan di Vietnam.
Seorang guru dapat saja bertanggungjawab untuk membina 2 sampai 5 kelas yang
berbeda. Sejauh ini, sekolah-sekolah ragam kelas/tingkatan menyebar luas di
daerah-daerah etnis minoritas. Tujuannya adalah untuk menyediakan pendidikan
dasar kepada anak-anak yang kurang beruntung dengan cara menghadirkan sekolah
mendekat kepada masyarakat di tempat anak-anak tinggal. Ada sekitar 2.162 SD
yang menerapkan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan, atau sekitar 1,8%
dari jumlah keseluruhan SD dengan jumlah peserta didik sekitar 143.693 anak
atau sekitar 38% dari jumlah populasi usia sekolah (Vu, 2004).
Menurut Patricia Ames, Peru memiliki sekitar 21.500 SD yang
menerapkan model PRK di mana sekitar 96% di antaranya terdapat di daerah-daerah
pedesaan. Jumlah guru yang ditugaskan pada sekolah-sekolah ragam
kelas/tingkatan ini sekitar 41.000 orang atau mewakili sekitar 69% dari total
jumlah guru. Sebagian besar sekolah (89%) yang berada di pinggiran kota di Peru
menerapkan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan. Khusus mengenai “Sekolah
Satu Guru”, menurut Tovar yang dikutip Patricia Ames mengemukakan bahwa di Peru
terdapat sekitar 39% dan tersebar di daerah-daerah pedesaan (Ames, 1989).
Karakteristik yang sangat penting untuk dikemukakan yang
mempengaruhi situasi pendidikan di Peru menurut Patrcia Ames adalah (a)
persebaran dan keterpencilan populasi (dispersion and isolation) di pedesaan;
(b) kemiskinan desa (60% penduduk yang tinggal di pedesaan adalah miskin dan
37% hidup pada suatu situasi yang sangat miskin; (c) ekonomi keluarga yang
menuntut anak-anak anggota keluarga untuk bekerja; (d) perbedaan ragam budaya
dan bahasa yang digunakan; dan (e) anak-anak di daerah pedesaan terlambat
mengikuti pendidikan sekolah, tingkat mengulang kelas (repetition rate) yang
tinggi dan seringnya terjadi gangguan tidak bersekolah. Kesemuanya ini semakin
mewarnai variasi kelas-kelas ragam tingkatan (Ames, 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bray mengenai Sekolah
Dasar Kecil (Small Primary Schools) di Kalimantan Tengah dikemukakan bahwa
terdapat 460 SD yang dikelola oleh 1 sampai dengan 3 orang guru (Bray, 1987).
Bahan-bahan belajar yang digunakan oleh siswa dirancang secara khusus sehingga
dapat dipelajari secara mandiri oleh siswa. Salah satu peluang yang terbuka
dari ketersediaan bahan-bahan belajar yang bersifat mandiri adalah memungkinkan
para sukarelawan orang dewasa untuk dapat membantu para siswa melakukan
kegiatan pembelajarannya. Konsep Sekolah Dasar Kecil di berbagai literatur
diidentikkan dengan sekolah dasar yang menerapkan model pembelajaran ragam
kelas/ tingkatan.
Sedangkan berdasarkan data yang disajikan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional tahun 1990 terdapat
sekitar 12.000 SD yang dikelola oleh guru yang harus mengajar lebih dari satu
kelas (BALITBANG DEPDIKNAS, 1990). Beberapa faktor yang menyebabkan Sekolah
Dasar menerapkan Pembelajaran ragam kelas/tingkatan antara lain adalah: (1)
kekurangan guru, (2) keterbatasan ruang kelas yang tersedia di SD, dan (3)
kondisi geografis yang sulit transportasi
(mbahbei : dari berbagai sumber).
0 komentar:
Posting Komentar