.

Rabu, 22 Oktober 2014

NILAI KARAKTER DALAM TEMBANG DOLANAN JAWA





Dewasa ini, perubahan dan perkembangan zaman berlangsung dengan pesat, terutama ditandai dengan semakin canggihnya teknologi informasi berbasis komputer sehingga memungkinkan terjadinya komunikasi dan interaksi antarmasyarakat dunia.
Di satu sisi teknologi canggih itu telah memberikan manfaat dan banyak kemudahan yang luar biasa kepada semua orang yang memanfaatkannya. Namun di sisi lain, proses interaksi antarbangsa di dunia itu juga berdampak negatif utamanya bagi terkikisnya kebudayaan tradisi, sebagai warisan nenek moyang yang menyimpan nilai-nilai luhur budaya suatu bangsa. Kebudayaan tradisi yang terancam oleh budaya global dan dikhawatirkan mencapai kepunahan, antara lain adalah bahasa daerah, adat-istiadat, dan berbagai macam kesenian daerah (dalam konteks ini, adalah tembang dolanan Jawa).

Aplikasi Gagasan
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa nilai-nilai moral (akhlak) yang digariskan dalam ajaran agama dewasa ini mulai diabaikan atau (sengaja) dikaburkan. Nilai-nilai kesantunan dan budi pekerti luhur yang diwariskan nenek moyang juga semakin memudar, bahkan menjadi asing di negeri sendiri. Sementara itu, para pemimpin bangsa yang seharusnya berperan sebagai contoh 'panutan' juga tidak lagi mampu menempatkan dirinya dengan benar (Nugrahani, 2011:2). Bila demikian keadaannya, kemana karakter bangsa ini akan berpijak? Bagaimana pembentukan karakter generasi muda dapat dilakukan? Pertanyaan besar itulah yang perlu mendapatkan jawabannya, bila bangsa ini ingin tetap eksis sebagai bangsa yang memiliki jatidiri dan karakter yang kuat dalam percaturan dunia.
Melunturnya kebanggaan masyarakat terhadap budayanya sendiri mengakibatkan terputusnya estafet pewarisan nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi penerusnya. Hal ini merupakan masalah besar yang tidak boleh dibiarkan. Segala upaya dari sejak dini perlu dilakukan, agar generasi penerus bangsa dapat tumbuh menjadi manusia yang berkarakter baik dan terpuji. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain pembiasaan anak untuk bermain dan menyanyikan lagu-lagu (tembang) dolanan Jawa, yang banyak mengandung nilai-nilai didaktis yang bersumber pada filsafat budaya Jawa yang adiluhung, yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan, dan akhlak/budi pekerti luhur dan mulia.
Patut disayangkan karena dewasa ini tembang dolanan sudah jarang didendangkan ketika anak-anak (Jawa) bermain dengan sebayanya. Mereka, (utamanya) yang tinggal di perkotaan lebih cenderung untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa pengantar sehari-hari. Akibatnya mereka kurang mengenal Bahasa Jawa, dan tentunya juga kurang akrab dengan budaya Jawa, termasuk tembang dolanan Jawa yang merupakan salah satu bagian dari seni budaya tradisi warisan nenek moyangnya.
Ada sembilan pilar karakter, yang penting untuk ditanamkan dalam pembentukan kepribadian anak. Berbagai pilar karakter tersebut sejalan dengan nilai-nilai kearifan local yang mengandung nilai-nilai luhur universal, meliputi: (1) cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya, (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, (3) kejujuran, (4) hormat dan sopan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan (Megawangi dalam Indrawati-Rudy, 2010:717).
Jadi, apakah perlu Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tembang dolanan Jawa itu, dikembangkan dalam pendidikan karakter bagi generasi muda penerus bangsa?

Nilai Kearifan Lokal (Lokal Wisdom)
Tembang dolanan Jawa merupakan salah satu sarana komunikasi dan sosialisasi anak-anak (Jawa) dengan lingkungannya. Melalui tembang dolanan itu, anak-anak dapat bergembira, bermain dan bersenang-senang dalam mengisi waktu luang. Tembang dolanan merupakan suatu hal yang menarik bagi anak. Meskipun sarat dengan pesan moral yang mendidik, tembang dolanan Jawa disampaikan dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dihafal dan dicerna sesuai dengan tingkat kematangan psikologis atau perkembangan jiwa anak yang masih suka bermain. Pesan atau ajaran-ajaran dan nilai-nilai moral budi pekerti dalam tembang dolanan tersebut, disampaikan melalui perumpamaan-perumpamaan dan analogi, yang dikemas dalam bahasa yang sederhana namun tetap indah (estetis).
Temabang dolanan terdiri dari 2 unsur penting, yaitu lagu dan kata-kata. Sehingga tembang dolanan merupakan bentuk puisi yang dilagukan. Apabila teks tersebut diinterpretasikan, maka teks puisi tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan yang berupa ajaran. Ajaran adalah aturan atau tatanan yang mengatur tingkah laku, perbuatan, dan kebiasaan yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat yang bersangkutan. Berikut nilai kearifan lokal (local wisdom) yang tersirat di dalam salah satu  tembang dolanan Jawa yang berjudul “Sluku-Sluku Batok”;
Sluku-Sluku Batok

Sluku-sluku bathok
(Ayun-ayun kepala) 
Bathoke ela elo
(Kepalanya geleng geleng)
Si rama menyang Solo
(Si bapak pergi ke Solo)
Oleh-olehe payung mutha
(Oleh-olehnya payung mutha)
Mak jenthit lolobah
(Secara tiba-tiba begerak)
Wong mati ora obah
(Orang mati tidak bergerak)
Yen obah medeni bocah
(kalau bergerak menakuti anak-anak)
Yen urip golek dhuwit
(kalau hidup mencari uang)

Tembang ini mempunyai makna bahwa hidup tidak boleh dihabiskan hanya untuk bekerja. Waktu istirahat ya istirahat untuk menjaga jiwa dan raga agar selalu dalam kondisi seimbang. Sluku-sluku bathok, artinya bathok kepala kita perlu beristirahat untuk memaksimalkan kemampuannya. Bathoke ela-elo berarti dengan cara berdzikir, ela-elo sama dengan Laa ilaa ha illallah, mengingat Allah akan mengendurkan saraf di otak. Lalu si rama menyang solo berarti siram atau mandilah atau bersuci menuju solo (sholat) lalu dirikanlah sholat. Oleh-olehe payung mutha mengartikan yang sholat akan mendapatkan perlindungan (payung) dari Allah. Kalau Allah sudah melindungi maka tak ada satupun di dunia ini yang kuasa menyakiti kita. Tak jendhit lolobah berarti kematian itu datangnya tiba-tiba dan tak ada yang tahu, tak bisa dimajukan atau dimundurkan walau sesaat, sehingga saat kita masih hidup kita harus senantiasa bersiap dan waspada untuk mengumpulkan amal kebaikan sebagai bekal untuk dibawa mati kelak. Yen obah medheni bocah artinya saat kematian datang semua sudah terlambat, kesempatan beramal hilang. Banyak yang minta ingin dihidupkan tapi Allah tidak mengizinkan, karena jika mayat hidup lagi maka bentuknya menakutkan dan mudharatnya akan lebih besar. Yen urip goleke duwit berarti kesempatan terbaik untuk bekarya dan beramal adalah saat ini. Saat masih hidup ingin kaya, ingin membantu orang lain, ingin membahagiakan orang tua sekaranglah saatnya. Ketika uang dan harta benda masih bisa menyumbang bagi tegaknya agama Allah. Sebelum terlambat, sebelum segala pintu keselamatan tertutup. Nilai pendidikan yang bisa ditanamkan melalui lirik tembang ini adalah cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya.

Reaktualisasi Tembang Dolanan
Tembang dolanan Jawa pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) bahasanya sederhana, (2) mengandung nilai-nilai estetis, (3) jumlah barisnya terbatas, (4) berisi hal-hal yang selaras dengan keadaan anak, (5) lirik dalam lagu dolanan menyiratkan makna religius, kebersamaan, kemandirian, tanggung jawab, rendah hati, dan nilai-nilai sosial lainnya. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, tidak diragukan lagi apabila tembang dolanan Jawa itu pantas untuk dikonsumsi anak-anak, karena banyak nilai-nilai positifnya yang terkandung di dalam lirik tembangnya. Secara umum  dapat disampaikan bahwa semua tembang dolanan tersebut mengarah pada aspek cerminan pandangan, falsafah hidup, dan nilai moral yang dibangun dalam masyarakat Jawa, yang pantas untuk digunakan sebagai pembentuk karakter generasi muda penerus bangsa.
Dari uraian yang disampaikan, dapat digarisbawahi bahwa pelestarian tembang dolanan Jawa sangat penting bagi generasi penerus bangsa dan perlu untuk diaktualisasikan dalam kehidupan generasi muda. Terlebih jika dikaitkan dengan pendidikan karakter bangsa yang saat ini sedang digalakkan oleh seluruh komponen bangsa. Melalui pembelajaran Bahasa Jawa atau Seni Suara Jawa dengan materi apresiasi tembang dolanan Jawa diharapkan anak-anak akan tumbuh menjadi manusia yang berbudaya, mandiri, mampu mengaktualisasikan diri dengan potensinya, mengekspresikan pikiran dan perasaannya, memiliki wawasan yang luas, mampu berpikir kritis, berkarakter kuat, sehingga peka terhadap masalah sosial pada bangsanya.

Oleh: Khoirul Huda

0 komentar:

Posting Komentar